SEKATO.ID | JAKARTA – Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal merupakan salah satu upaya untuk memberikan kewenangan yang lebih luas kepada Pemerintah Daerah dalam melaksanakan pembangunan daerahnya. Menurut Kepala Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara (PKAKN) Setjen DPR RI Helmizar, desentralisasi fiskal bisa diupayakan melalui optimalisasi sumber-sumber pendanaan yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan pendapatan daerah lainnya.
Dengan demikian, tujuan untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam membiayai seluruh kegiatannya dapat tercapai. Salah satu metode pengukuran yang dapat digunakan untuk mengukur Kemampuan Pemerintah Daerah dalam membiayai seluruh kegiatannya adalah Indeks Kemandirian Fiskal (IKF).
“Dengan PAD sebagai indikator utama perhitungan rasionya. Oleh karena itu, menjadi penting bagi daerah untuk meningkatkan potensi PAD-nya,” papar Helmizar saat memberikan sambutan di acara webinar yang bertajuk ‘Kondisi dan Hambatan dalam Meningkatkan Kemandirian Fiskal Daerah’, Senin (30/8/2021).
Helmizar juga mengungkapkan, rata-rata pertumbuhan rasio IKF dari tahun 2016-2020 secara nasional telah menunjukkan adanya peningkatan sebesar 0,0024 setiap tahun, meskipun masih terdapat 113 daerah (22 persen) yang mengalami tren penurunan IKF. Lebih lanjut diketahui dalam Laporan Hasil Review (LHR) BPK terhadap Kemandirian Fiskal Daerah Tahun 2020 atas 503 Pemda terdapat beberapa poin penting.
Dia mengungkapkan sebanyak 443 dari 503 pemda atau 88,07 persen masuk dalam kategori ‘Belum Mandiri’, hanya terdapat 10 dari 503 pemda atau 2 persen yang masuk dalam kategori ‘Mandiri’ dimana 7 dari 10 pemda atau 70 persen berada di Pulau Jawa;
Menurut Helmi pandemi Covid-19 tidak terlalu mempengaruhi kategori kemandirian fiskal daerah. Mayoritas pemda 468 dari 503 pemda atau 93,04 pemda tidak mengalami perubahan status kemandirian fiskalnya.
“Terdapat kesenjangan kemandirian fiskal antar daerah yang tinggi. Pemerintah provinsi memiliki proporsi status IKF paling baik, disusul oleh pemerintah kota dan terakhir pemerintah kabupaten,” ujar Helmizar.
Dia juga menjelaskan daerah bukan penerima otsus memiliki proporsi status IKF lebih baik dibanding daerah penerima otsus. Dan yang teakhir, pemda yang dominan pada sektor sekunder (PDRB 2) memiliki proporsi status IKF paling baik, disusul oleh sektor tersier (PDRB 3) dan terakhir sektor primer (PDRB 1).
Sumber: dpr.go.id
Discussion about this post