TERKAIT dengan kode etik penyelenggaraan pemilu, istilah “Kode Etik” diartikan sebagai satu kesatuan landasan norma moral, etis dan filosofis yang menjadi pedoman bagi perilaku penyelenggara pemilihan umum yang diwajibkan, dilarang, patut atau tidak patut dilakukan dalam semua tindakan dan ucapan.
Adapun tujuan kode etik ini adalah untuk menjaga kemandirian, integritas, dan kredibilitas Penyelenggara Pemilu, yang sesuai dengan asas Penyelenggaraan Pemilu, yaitu: (1) mandiri; (2) jujur; (3) adil; (4) kepastian hukum; (5) tertib; (6) kepentingan umum; (7) keterbukaan; (8) proporsionalitas; (9) profesionalitas;(10) akuntabilitas; (11) efisiensi; dan (12) efektivitas.
Lalu, dalam peraturan kode etik pemilu disebutkan, ada 21 prinsip dasar yang merupakan kewajiban penyelenggara pemilu. Selain itu, diatur pula tentang pelaksanaan prinsip dasar etika dan perilaku bagi penyelenggara Pemilu. Kemudian, telah ditentukan bahwa sanksi pelanggaran Kode Etik Pemilu, terdiri dari: (1) teguran tertulis; (2) pemberhentian sementara; atau (3) pemberhentian tetap.
Fakta yang terjadi bahwa pelaksanaan pilkada secara langsung banyak menimbulkan berbagai persoalan. Pemerintah telah beberapa kali mengganti peraturan perundang-undangan terkait dengan penyelenggaraan pilkada. Terakhir, dengan keluarnya Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-undang (selanjutnya disingkat UU Nomor 8 Tahun 2015).
Ironisnya, walaupun pemerintah telah berupaya menerbitkan berbagai regulasi terkait penyelenggaraan pemilu, ternyata tetap saja masih sering terjadi adanya pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh oknum penyelenggara pemilu. Dan salah satu jenis pelanggaran dimaksud adalah pelanggaran kode etik pemilu.
Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan data yang ada pada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Republik Indonesia (DKPP-RI), bahwa sejak bulan Juni 2012 sampai dengan Juni 2015, terdapat 1658 pengaduan dugaan pelanggaran kode etik pemilu.
Pasca mencuatnya dugaan adanya persekongkolan dengan tim Cek Endra di Pilgub Jambi, Komisioner KPU Provinsi Jambi M. Sanusi, kini sudah disidang di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Ia dituding dan diduga curang serta bersekongkol dengan Tim Cek Endra atas kebocoran data internal KPU Provinsi Jambi.
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) dugaan Perkara aduan Ansori terhadap Anggota KPU Provinsi Jambi, M. Sanusi atas tidak netral dengan berpihak kepada Tim Pemenangan Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Jambi, CE dan Ratu Munawaroh. Teradu diduga memberikan DPT pemilih yang belum melakukan perekaman KTP elektronik kepada Tim Pemenangan pasangan tersebut.
Untuk diketahui, data inilah yang digunakan pasangan paslon tersebut menggugat KPU di Mahkamah Konstitusi hingga berujung putusan PSU oleh MK. Dalam persidangan di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Republik Indonesia (DKPP RI) pada tanggal 5 Maret 2021 (dapat kita saksikan di channel youtube DKPP RI di alamat url https://www.youtube.com/watch?v=Lhi4QV-TkVc,).
Fakta persidangan DKPP mengungkapkan bahwa Staf Program dan Data KPU Provinsi Jambi, Ivan Oriza Fikri memberikan data DPT belum rekam e-KTP kepada M. Sanusi. M. Sanusi juga meminta kepada Ahdiyenti memberikan kepada Iin Habibi.
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan PSU 88 TPS di beberapa wilayah kabupaten kota dan menilai KPU Provinsi Jambi masih memiliki tantangan-tantangan untuk menjadi lembaga yang mandiri. Dampak terbesar dari PSU ini adalah adanya pemecatan panitia pemungutan suara dan panitia pemilihan kecamatan sesuai instruksi Mahkamah Konstitusi (MK) pada TPS yang melaksanakan PSU.
Hal ini menyebabkan panitia pemungutan suara dan panitia pemilihan merasa disalahkan, sehingga secara psikis mereka yang diberhentikan atau diganti itu merasa malu dan dianggap paling bersalah serta lalai dalam melaksanakan pemungutan suara. Padahal, mereka ini hanya menjalankan perintah lapangan dari KPU.
Seharusnya, KPU Kabupaten, KPU Provinsi diganti atau dipecat juga. Padahal lembaga itu menjadi satu-satunya pihak yang diberikan wewenang menjalankan pesta rakyat memilih gubernur dan wakil gubernur yang amanah. M. Sanusi tentu tidak bermain sendiri ini harus menjadi momentum bagi pihak berwajib untuk membongkar internal KPU. Dan harus mengusut lebih jauh berdasarkan postur gaji dan aset yang dimiliki, termasuk komisioner-komisioner lain.
Penetapan status tersangka terhadap lima komisioner KPU Palembang, Sumatra Selatan, Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan, komisioner KPU RI lainnya yang di pidana adalah Nazaruddin Sjamsuddin, almarhum Mulyana Wira Kusumah, Daan Damara, dan Rusadi Kantaprawira, mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bungo, Musfal dan masih banyak lagi adalah salah satu bukti bahwa KPU belum mampu menjadi lembaga yang mandiri, memiliki kredibilitas dan integritas, jika dilihat dari kasus-kasus yang melibatkan komisioner-komisionernya.
Adanya PSU mengakibatkan pembangunan di Provinsi Jambi terhambat karena belum adanya gubernur definitif, hal ini tentu merugikan masyarakat Jambi. Selain itu kerugian keuangan negara yang harus menggelontorkan kembali uang Rp7,8 miliar untuk PSU padahal dana tersebut bisa dimanfaatkan untuk penggunaan lainnya.
Dugaan keberpihakan Sanusi melalui Iin Habibi yang terhubung ke paslon 01 Cek Endra-Ratu yang diduga tak netral, juga disebut-sebut sedari awal sudah membuat anggota komisioner lain tak “nyaman” karena ada oknum KPU yang bekerja sama dengan tim Cek Endra-Ratu untuk membatalkan penetapan sementara KPU yang dapat mengancam stabilitas bahkan juga dapat memunculkan konflik antar pendukung paslon 01 dan 03.
Di sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu nama Edi Purwanto (Ketua DPD PDI P) dan Iin Habibi (Ketua Badko HMI Jambi), disebut-sebut. Cara yang dilakukan tersebut (putusan MK untuk PSU 88 TPS) dapat mencederai nilai-nilai hukum dan demokrasi sehingga menjadi preseden buruk dan pasti mendapat perhatian bagi masyarakat untuk mendorong KPU dapat secara penuh menjalankan mandatnya sebagaimana aturan.
Namun demikian jika berbagai dugaan tersebut terbukti (diputuskan oleh DKPP) harus ditindak termasuk para pihak yang secara langsung maupun tidak langsung. Karena pelanggaran kode etik merupakan tindak pidana dan wajib membongkar internal KPU secara menyeluruh.
Dibuat oleh: Adi Riady, Aktivist.
Discussion about this post