SERING kali kita mendengar seruan lelaki misoginis agar perempuan tidak keluar rumah, seperti “kodrat perempuan di rumah”, “pekerjaan perempuan yang baik adalah di rumah”, atau “karir perempuan itu di rumah”. Berbagai macam alasan pun dipakai, terlebih alasan keamanan dan kerap kali diucapkan “makanya di rumah aja, lebih aman”.
Padahal alasan itu tak sepenuhnya benar. Faktanya perempuan masih belum aman di rumahnya sendiri. Belum lama ini, perempuan yang sedang dalam keadaan hamil tua dibunuh oleh suaminya. Kasus lain juga menunjukkan, perempuan difabel diperkosa oleh ayah dan saudara laki-lakinya selama bertahun-tahun. Bahkan ada juga kasus seorang anak usia belia dilecehkan oleh kakek, ayah, paman, saudara laki-laki dan tetangganya ketika ibunya sedang bekerja di luar.
Dalam Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2021, ada sebanyak 299.911 kasus pada tahun 2020, terdiri dari kasus yang ditangani oleh:
- Pengadilan Negeri/Pengadilan Agama sejumlah 291.677 kasus
- Lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah 8.234 kasus.
- Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan
Sebanyak 2.389 kasus, dengan catatan 2.134 kasus merupakan kasus berbasis gender dan 255 kasus di antaranya adalah kasus tidak berbasis gender atau memberikan informasi.
Nah, dari banyak kasus yang ditangani oleh mitra Lembaga layanan, kekerasan justru terjadi pada ranah privat, jumlahnya mencapai 6.480 kasus (79%). Dari angka tersebut, 985 di antaranya merupakan kasus inses.
Lalu, bentuk kekerasan yang terjadi di Ranah Publik/Komunitas sebanyak 590 kasus (56 %) dan Ranah Negara sebanyak 8 kasus (0,1%). Sementara itu, dalam catatan pengadilan agama, penyebab perceraian di antaranya terdapat kekerasan terhadap istri.
Catahu 2021 juga menunjukkan adanya fenomena baru di mana pelaku kekerasan yaitu pacar sekitar 1.309 kasus. Sedangkan suami sebagai pelaku kekerasan teteap pada peringkat teratas yakni 3.221 kasus. Anak perempuan juga sering menjadi objek kekerasan dan terdapat sebanyak 954 kasus.
Bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi di Ranah Publik/Komunitas adalah kekerasan seksual sebanyak 590 kasus (56 %), lalu kekerasan psikis 341 kasus (32%), kekerasan ekonomi 73 kasus (7%) dan kekerasan fisik 48 kasus (4%). Komnas Perempuan memantau berdasarkan pada pemberitaan media massa daring sepanjang 2020, terdapat 97 kasus femisida yang tersebar di 25 provinsi, dengan 5 (lima) provinsi tertinggi yaitu Jawa Barat (14 kasus), Jawa Timur (10 kasus), Sulawesi Selatan (10 kasus), Sumatera Selatan (8 kasus) dan Sumatera Utara (7 kasus). Empat besar pemicu femisida adalah, cemburu, ketersinggungan maskulinitas, menolak hubungan seksual, didesak bertanggung jawab atas kehamilan tidak dikehendaki (KTD).
Kalua melihat dan mencermati data-data tersebut, jelas ya, bahwa perempuan juga tidak aman di rumah. Justru bentuk kekerasan yang paling marak terjadi berasal dari relasi yang dimiliki perempuan di rumah.
Selama ini relasi antara perempuan dan lelaki di rumah timpang jauh. Pembagian peran gender menempatkan perempuan pada posisi yang lemah dan tak berdaya, begitu sangat bergantung pada belas kasih lelaki. Inilah pola patriarki dalam keidupan kita sehari-hari. Sudah begitu perempuan selalu disalahkan jika dianggap menyulut emosi laki-laki, seolah-olah ia pantas mendapatkan kekerasan fisik yang dapat berujung pada kematian.
Apakah perempuan pantas dibunuh karena dianggap menyulut emosi laki-laki? Apakah laki-laki merasa paling jantan karena membunuh perempuan?
Pembunuhan perempuan sering terajadi, berbagai kronologi yang ditayangkan oleh media menunjukkan akhir dari kehidupan korban. Tidak sedikit jasad korban pembunuhan ditemukan dalam kondisi yang mengenaskan. Bahkan demi menghilangkan jejak, para pelaku tega memutilasi dan membuang jasad korban seperti bangkai hewan.
Negara yang maskulin tidak pernah melihat perempuan sebagai manusia yang berdaulat dan hanya menempatkannya sebagai kepemilikan lelaki. Wacana tentang kepemilikan tubuh perempuan oleh lelaki juga terus diproduksi menggunakan dogma-dogma agama. Padahal, kenyataannya perempuan masih tidak aman dari laki-laki yang ada di rumahnya. Ini bertentangan dengan misi agama yang memanusiakan perempuan.
Percayalah, rumah bukan satu-satunya tempat aman bagi perempuan selama lelaki cis nan patriarkis menginginkan kamu terikat di dalamnya seperti boneka barbie di dalam rumah barbie.
Discussion about this post