Assalamu’alaikum..
Selamat pagi,
Salam sejahtera bagi kita semua..
Omswastiastu
Kenalkan Mas, nama saya Emilyanti. Biasa orang-orang memanggil saya dengan sebutan Bu Emil, mengingat saya seorang guru, yang ditempatkan di salah satu daerah di Kalimantan Barat. Tepatnya di daerah Nanga Seberuang, Kecamatan Semitau, Kabupaten Kapuas Hulu. Tinggal di sebuah desa yang jauh dari hingar bingar suasana kota memaksa saya untuk bisa terus bergerak. Bayangkan saja, jika hendak ingin pergi ke pasar, saya harus melewati puluhan kilometer, bahkan harus pula menyebrangi sungai Kapuas dengan menggunakan perahu kecil dari kayu seadanya.
Memilih hidup disini bukanlah hal yang mengenakan. Namun ada banyak pertimbangan kenapa saya memutuskan untuk hidup disini. Terlebih, sulitnya izin dari orang tua saat mengetahui saya harus ditempatkan di sebuah daerah yang sama sekali tidak diketahui oleh keluarga saya. Mendengar Kalimantan saja, rasanya sudah cukup jauh bagi orang tua saya. Apalagi jika dirinci lebih dalam, dimana sebenarnya saya tinggal sekarang. Tapi tidak perlu saya bahas panjang lebar mengenai hal ini. Hidup disini, memang sangat berbanding terbalik dengan keadaan saya sebelumnya. Dimana yang biasanya ketika lapar bisa langsung menyantap makanan dengan pilihan menu sesuka hati, disini saya harus berproses. Mau makan sesuap nasi saja, saya harus membeli beras, lalu mencucinya, kemudian menanaknya, dan setelah menunggu beberapa menit, barulah bisa menikmati sesuap nasi. Tapi inilah hidup. Berproses. Sesuatu yang tidak saya dapatkan ketika tinggal bersama orang tua.
Manusia memang belajar dari manusia lainnya. Inilah yang saya pelajari ketika berhadapan dengan orang-orang baru. Belajar cara mereka hidup. Belajar bagaimana cara mereka makan, belajar cara mereka bicara, bahkan belajar bagaimana cara mereka melakukan sesuatu. Banyak hal yang dialami. Tentu hal ini melibatkan banyak manusia. Belajar cara mereka menjalani hidup dengan lingkungan yang tidak saya temukan sebelumnya.
Disini, sudah menjadi hal yang biasa ketika melihat handphone yang bertuliskan No Signal. Bukan hal baru pula ketika mendapati situasi yang jarang orang-orang bisa lalui. Sinyal menjadi kebutuhan pokok setiap manusia, terlebih bagi seseorang yang melakukan beragam transaksi yang berkaitan dengan handphone.
Tanpa sinyal manusia memang masih bisa hidup, tapi dengan sinyal, manusia bisa menjadi lebih hidup. Sebuah kalimat yang saya simpulkan sendiri ketika saya baru tiba disini.
Menjadi seorang pengajar di daerah yang sulit sinyal sangat membutuhkan kesabaran yang lebih. Apalagi situasi pandemi ini. Situasi yang menuntut untuk melakukan sesuatu dengan berlandaskan online dan membutuhkan banyak sinyal. Semua harus serba online.
Mas menteri, metode pembelajaran daring yang dicetuskan memang sangat rapih jika diterapkan di daerah yang bebas akses jaringan. Di surat ini, saya akan memberikan sedikit informasi bagaimana pembelajaran masa pandemi berlangsung, khususnya di tempat saya mengajar. Untuk melakukan pembelajaran sistem daring sudah dipastikan ini tidak bisa diterapkan secara merata. Kasarnya, jangankan untuk akses ZOOM atau Google Classroom, mau browsing cari gambar aja sulit. Bisa WhatsApp saja sudah Alhamdulillah. Tidak dipungkiri, walau hanya beberapa, saya melibatkan whatsapp untuk membuat grup demi kelancaran proses pembelajaran. Tapi, jujur saja, dari 25 siswa khususnya kelas 1a, hanya 15 siswa yang mempunyai smatphone dan bisa mengakses internet. Maka dari itu, metode daring tidak begitu dapat terealisasi dengan baik di daerah sini. Bukan saya menyalahkan metode pembelajaran daring. Namun sangat disayangkan, ketika program yang Mas Menteri sudah rancang dengan rapih, tapi masih saja ada yang belum bisa menikmati dengan alasan yang beragam.
Disini, khususnya di sekolah tempat saya mengajar, kami menerapkan sistem pembelajaran door to door, atau home visit. Ya, kami memberikan pembelajaran dengan langsung mendatangi rumah siswa, tentunya dengan memakai APD lengkap sesuai protokol kesehatan dengan waktu yang sangat minim. Karena kami harus keliling dalam satu hari ke beberapa tempat. Soal memberikan pelajaran bukanlah hal yang sulit bagi kami. Namun, perjalanan menuju rumah siswa yang sulit untuk digambarkan terkadang menjadi kendala dalam menyampaikan pembelajaran. Jalan yang beralaskan tanah dengan dihiasi kendaraan-kendaraan besar saat melintas menjadi teman perjalanan yang tak pernah terlewatkan. Debu jalanan akibat dari kendaraan-kendaraan besar menjadi hal yang lumrah. Jalan becek sampai terkadang tidak bisa dilalui kendaraan, bahkan harus naik sampan ketika menuju rumah siswa, menjadi tantangan tersendiri, demi tercapainya keberlangsungan pembelajaran. Pengalaman yang tidak semua orang bisa mendapatkannya. Debu dan jalan becek merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan disini.
Mas Menteri, Seperti apa yang sudah disebutkan sebelumnya, dari 15 siswa yang masuk dalam WhatsApp Grup Kelas, hanya beberapa siswa yang selalu aktif mengirimkan laporan sesuai arahan guru. Ketika ditanyakan kepada orang tua kenapa tidak melakukan sesuai arahan guru? Jawabannya beragam. Sulit sinyal-lah, Capek kerja-lah. Ga ada kuota-lah. Bahkan ketika ada program pemberian kuota, realitanya tidak semua orang tua mendapatkan kuota.
Dalam kesempatan ini Mas Menteri, saya ingin menuliskan beberapa hal yang berkaitan tentang pembelajaran di masa pandemi menurut kacamata pengalaman saya di daerah yang jauh dari jangkauan sinyal.
Jika dilihat dari program pembelajaran daring, luring, dan ataupun kombinasi yang dicanangkan pemerintah, ini sudah sangat rapih bahkan di luar dugaan saya. Karena ternyata semua sudah tersusun rapih dari awal sampai akhir. Bahkan modul-modul pembelajaran pun sudah tersedia. Sampai beragam aplikasi benar-benar siap membantu pembelajaran dengan metode daring ini. Namun, sekali lagi kusampaikan, tidak semua dapat merealisasikan program tersebut dengan alasan sulitnya jaringan di daerah-daerah tertentu. Kalau bisa ya Mas, jangan hanya kuota belajar saja yang diberikan, tapi juga pembangunan tower-tower penyedia jaringan juga dapat didirikan di daerah-daerah yang masih kesulitan dalam mengakses sinyal.
Dilihat dari Fasilitator, atau guru. Program ini sebenarnya sangat membantu. Sangat memudahkan guru dalam menyusun program belajar. Namun, tidak semua orang tua dapat menggunakan sistem daring ini. Hal ini menjadi kendala bagi guru.
Dilihat dari sisi orang tua, ada beberapa orang tua yang antusias dalam pelaksanaan metode daring dengan menggunakan beragam aplikasi. Bahkan ada orangtua yang rela pergi ke tepi sungai hanya untuk mendapatkan jaringan. Namun ada juga orangtua yang acuh terhadap metode ini, membiarkan semuanya berjalan dengan seadanya. Fenomena orangtua yang seperti ini sangat menyulitkan guru dalam penilaian proses pembelajaran. Terurtama untuk kelas 1, kelas yang benar-benar awal. Tidak mengenal sebelumnya seperti apa. Dan sulit bagi saya untuk menilai secara objektif dengan keadaan yang seperti ini.
Saya ingin bertanya juga Mas Menteri, bagaimana cara menyadarkan orangtua untuk hal-hal kecil semacam ini? Menyadarkan bahwa sekarang sangat penting memiliki smartphone untuk kegiatan belajar. Dan adakah metode atau cara lain untuk menyampaikan pembelajaran jarak jauh, khususnya di daerah-daerah yang sulit jangkauan sinyal?
Saya pernah menulis, bahwa, guru itu bukan hanya sebagai gelar, tapi lebih kepada nalar bagaimana guru itu harus mengajar. Bukan hanya sebagai pendidik, tapi pemberi contoh yang baik. Ini saya tulis beberapa tahun lalu ketika tanggal 25 November tahun 2018 yang diperingati sebagai hari guru.
Dalam situasi pandemi ini, bagaimana cara memberikan contoh yang baik? Karena tidak adanya tatap muka antara guru dan siswa. Bagaimana guru bisa mencontohkan, bahwa anak baik, bicara yang baik, dan berperilaku yang baik, dalam situasi pandemi seperti ini?
Mungkin cukup sampai disini dulu cerita pengalaman pembelajaran jarak jauh masa pandemi, khususnya di daerah yang sulit sinyal. Semua yang saya tulis ini merupakan rangkuman dari yang saya dapat ketika harus menjalani pembelajaran jarak jauh. Sekian, dan sampai jumpa.
Wassalamu’alaikum..
Selamat pagi
Omswastiastu.
Salam dari tanah Borneo,
Kalimantan Barat.
Bu Emil.
Discussion about this post