Oleh : Hery Susanto, Anggota Ombudsman RI
SEKATO.CO.ID | JAMBI – Disampaikan pada diskusi publik Optimalisasi Distribusi BBM Bersubsidi di Hotel Grand Tulip Galaxi, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 13 September 2022
Banjarmasin – Sesuai Pasal 3 huruf f UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi ( UU Energi), bahwa salah satu tujuan pengelolaan energi adalah tercapainya peningkatan akses masyarakat yang tidak mampu dan/atau yang tinggal di daerah terpencil terhadap energi untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata dengan cara menyediakan bantuan untuk meningkatkan ketersediaan energi kepada masyarakat tidak mampu serta membangun infrastruktur energi untuk daerah belum berkembang sehingga dapat mengurangi disparitas antar daerah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 UU Energi bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan dana subsidi untuk kelompok masyarakat tidak mampu. Konsekuensi atas hal tersebut, Pemerintah memiliki kewajiban hukum dalam memberikan subsidi kepada masyarakat tidak mampu.
Pada isi lampiran penjelasan Perpres No 191 Tahun 2014, pada bagian konsumen pengguna transportasi angka 2 menjelaskan bahwa BBM bersubsidi jenis solar tidak boleh dinikmati mobil barang untuk pengangkutan hasil kegiatan perkebunan dan pertambangan dengan jumlah roda lebih dari 6 (enam) buah.
Demikian halnya dengan pemberian kompensasi kepada pertalite yang didasarkan pada Peraturan Presiden RI Nomor 117 tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 191 tahun 2014 tentang Pendistribusian dan Juga Harga jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM). Dalam Pasal 21B ayat 2 Perpres itu disebutkan bahwa Formula harga dasar, harga indeks pasar, dan harga jual eceran bahan bakar minyak jenis bensin (gasoline) RON 88 sebagai komponen bahan bakar minyak pembentuk jenis bensin (gasoline) RON 90 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan jenis bensin (gasoline) RON 88 sebagai Jenis BBM Khusus Penugasan. Regulasi ini menunjukkan bahwa mengenai ketentuan pemberian pertalite subsidi belum diatur secara tegas dan jelas.
Pengaturan pemberian pertalite subsidi harus segera diatur dalam payung hukum dengan melakukan revisi terhadap Peraturan Presiden RI Nomor 117 tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 191 tahun 2014 tentang Pendistribusian dan Juga Harga jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM) apalagi saat ini konsumsi Pertalite lebih besar ketimbang dengan Solar sehingga sudah saatnya juga untuk diatur dalam pembatasan. Revisi Perpres tersebut diperlukan revisi untuk memberikan kepastian hukum mengenai ketentuan kelompok masyarakat yang berhak untuk menggunakan Jenis BBM Tertentu (JBT) Solar dan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) Pertalite.
Bahwa memberikan subsidi kepada masyarakat yang mampu atau tidak tepat sasaran itu bertentangan dengan undang-undang. Kebijakan subsidi energi yang selama ini berjalan dinilai masih menuai banyak masalah. Kelompok miskin masih sulit mengakses bantuan subsidi energi seperti BBM, listrik, dan LPG. Hal ini berpotensi sebagai tindakan maladministrasi dalam memberikan BBM bersubsidi.
Setidaknya terdapat 3 potensi bentuk Maladministrasi :
1. Pengabaian Kewajiban Hukum. Pemberian subsidi energi tidak tepat sasaran atau memberikan kepada masyarakat yang mampu bertentangan dengan UU Energi, UU Migas dan ketentuan peraturan perundangan lainnya.
2. Tidak Kompeten, Pemerintah tidak kompeten dalam mengidentifikasi masyarakat yang tidak mampu dan berhak mendapatkan subsidi energi.
3. Kelalaian, Pemerintah lalai tidak segera menetapkan peraturan mengenai ketentuan kelompok masyarakat yang berhak mendapatkan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) Pertalite.
Dampak terhadap subsidi tidak tepat saran akan mengurangi akses masyarakat tidak mampu terhadap ketersediaan dan keterjangkauan energi, padahal tujuan dari subsidi adalah untuk menjamin kehidupan masyarakat tidak mampu. Jangan sampai subsidi BBM yang berasal dari APBN diberikan tidak tepat sasaran dan dinikmati oleh masyrakat mampu.
Pemberian kompensasi kepada pertalite yang didasarkan pada Peraturan Presiden RI Nomor 117 tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 191 tahun 2014 tentang Pendistribusian dan Juga Harga jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM). Dalam Pasal 21B ayat 2 Perpres itu disebutkan bahwa Formula harga dasar, harga indeks pasar, dan harga jual eceran bahan bakar minyak jenis bensin (gasoline) RON 88 sebagai komponen bahan bakar minyak pembentuk jenis bensin (gasoline) RON 90 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan jenis bensin (gasoline) RON 88 sebagai Jenis BBM Khusus Penugasan.
Regulasi ini menunjukkan bahwa mengenai ketentuan pemberian pertalite subsidi belum diatur secara tegas dan jelas.
Pengaturan pemberian pertalite subsidi harus segera diatur dalam payung hukum dengan melakukan revisi terhadap Peraturan Presiden RI Nomor 117 tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 191 tahun 2014 tentang Pendistribusian dan Juga Harga jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM) apalagi saat ini konsumsi Pertalite lebih besar ketimbang dengan Solar sehingga sudah saatnya juga untuk diatur dalam pembatasan.
Revisi Perpres tersebut diperlukan untuk memberikan kepastian hukum mengenai ketentuan kelompok imasyarakat yang berhak untuk menggunakan Jenis BBM Tertentu (JBT) Solar dan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) Pertalite.
Acara diskusi publik ini dibuka langsung oleh Walikota Banjarmasi, Ibnu Sina dan diisi oleh narasumber dari akademisi Universitas Lambung Mangkurat, Taufik Arbain, Kabid Energi Dinas ESDM Provinsi Kalimantan Selatan, H. Sutikono, Sales Branch Manager VI Kalselteng PT. Pertamina Patra Niaga, Moh. Riza Rahmat Syah dan Kepala Perwakilan Ombudsman Kalsel, Hadi Rahman.
Discussion about this post