(Pelajaran Berharga untuk Peringatan Hari Anti Korupsi)
Oleh H.Adrianus Chatib
(Guru Besar Jambi dan Ketua Senat UIN STS)
Dewasa ini, para pencari keadilan benar-benar tersayat hati mereka. Betapa tidak, di negara hukum –dengan retorika yang sangat popular bahwa hukum adalah panglima – kasus-kasus masyarakat yang berkaitan dengan hukum sepertinya tidak mendapat tempat yang menyejukkan di hati, terutama bagi lapisan grass roots. Contoh yang paling memilukan adalah vonis masuk penjara bagi si A, pencuri buah coklat – yang kemudian konon hasil “curian” itu telah dikembalikan kepada pemiliknya – di Banyumas, Jawa Tengah yang diawali dengan penangkapan oleh polisi dan tuntutan jaksa bahwa hal itu merupakan tindakan pidana. Kalau benar dalam rangka penegakan hukum, maka pencuri sekecil apapun harus menerima ganjaran hukum sesuai dengan perbuatannya, setelah menimbang asas sosiologis-psikhologis, serta asas kepatutan-kepantasan.
Melihat sepak terjang penegakan hukum yang dilakukan aparat hukum tanpa pandang bulu, strata dan kedudukan, dapat dibayangkan bahwa negara dan bangsa ini dalam waktu dekat akan bersih. Hanya saja seribu kali sayang, berbeda sekali halnya dengan penipu ulung hukum yang menilep uang rakyat triliunan, sampai detik ini masih bersilat lidah dan bersenda ria karena tak tersintuh alias kebal hukum. Aneh memang mendengarnya, tapi begitulah kenyataannya. Kejadian seperti ini terjadi di negara hukum seperti Indonesia.
Penyakit Kronis
Penegakan hukum di negeri yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 ini– dilihat dari kenyataan sejarahnya – sangat sulit, sekalipun seharusnya tidak demikian.Kritik yang datang dari berbagai pihak , baik yang pedas maupun yang sejuk tapi tajam sejak dulu kala sudah berdatangan.Namun, hukum di negeri ini tidak kunjung tegak, demikian Mahfud MD dalam bukunya. Kritik datang bukannya dari dalam negeri saja, kritik dari luar negeri pun sama pedasnya, juga bermunculan seperti: “kalau belajar bahasa hukum datanglah ke Indonesia; tapi bila ingin belajar penerapan hukum datang ke Singapura dan Malaysia”.Sekalipun kita tahu bahwa penerapan hukum di negara tersebut belum tentu 100%; namun dibandingkan dengan di Indonesia, penegakan hukum di negeri jiran itu jauh lebih baik.
Lalu, apanya yang salah di negeri kita ini? Sampai-sampai ada ungkapan yang memalukan putera-puteri anak bangsa ini dan memilukan hati kita yakni:”hukum di negeri ini bisa dibeli”;”hukum di negeri kita berpihak pada penguasa dan orang kaya” dan ungkapan lain yang sejenis. Kata-kata seperti ini memang sangat menyakitkan, tapi untuk mengkonternya, sulit. Karena, hal-hal yang tersebut di atas betul-betul dirasakan oleh publik, terutama rakyat jelata.
Tidak tanggung-tanggung kritik yang mereka sampaikan kepada penegak hukum sbb. .”melaporkan kambing hilang karena dicuri ke aparat penegak hukum, malah yang terjadi kemudian “sapi yang hilang” bagi pelapornya”.Artinya, menurut masyarakat bahwa kambing yang hilang tidak ditemukan, tetapi duit untuk berurusan dengan penegak hukum terkuras habis”. Makanya, tidak berlebihan masyarakat menilai bahwa penyakit penegak hukum kita sudah kronis, bahkan lebih dari itu, walaupun tidak semuanya. Ibarat tubuh, sudah hampir sekujur badan terdeteksi berpenyakit dan berpotensi dapat menghancurkan kehidupan bernegara / bermasyarakat di negeri tercinta ini, bila tidak ditangani dengan serius.
Keseriusan adalah kata kunci. Penyakit yang begitu lama diidap oleh penegak hukum kita, bukannya tidak pernah dibawa ke “dokter”. Setiap dokter – setelah melihat kondisinya sudah berada pada stadium IV- menyarankan agar keluarga pasien meresponnya dengan baik, bukannya dengan dingin/tidak ada upaya kongkret dan terkesan menutup-nutupi penyakit pasien. Tidak cukup penyebuhannya dengan do’a dan sebutir pil saja. Kalau perlu dibawa ke ruang bedah dan diteliti secara cermat bahagian mana yang perlu diamputasi. Lebih sulit lagi, kalau ternyata penyakit yang diidap itu penyakit menular yang sudah terlanjur merambat ke sana-sini.
Akankah “Umar” Lahir lagi
Dalam penegakan hukum, keseriusan, keberanian, konsisten dan bertanggungjawab adalah hal-hal yang mutlak dipenuhi pemimpin yang dimandati untuk itu. Sulit memang, tapi bukan tidak mungkin hukum tegak dan berpihak kepada rakyat, asal ada niat baik yang diikuti dengan kerja keras oleh pemimpin- pemimpin pilihan langsung rakyat ini. Justeru, bila tidak juga hukum tegak, berarti benarlah bahwa kita telah tertipu ketika memilih pemimpin dulu.Kata orang bijak: “membeli kucing dalam karung”, tidak dapat membedakan antara kucing “saleh” dengan kucing garong.Siapa yang salah? Ya, rakyat sendiri, kenapa itu yang dipilih. Akan tetapi, petinggi penegak hukum bukanlah pilihan rakyat. Mereka dipilih Presiden berdasarkan pertimbangan bapak rakyat alias DPR.
Terlepas dari siapa yang memilih, bagi rakyat yang penting adalah hukum tegak. Untuk itu, bangsa ini perlu memiliki seorang yang betul-betul arif dalam menegakkan hukum.Dalam sejarah, kita memgenal nama Umar Ibn al-Khattab pejuang penegakan hukum yang betul-betul sukses yang belum ada tandingannya sampai sekarang. Di dalam menangani masalah hukum, Umar tegas, tapi bijak.Ia tidak hanya memperhatikan asas legal formal, lebih jauh dari itu bahwa aspek sosiologis dan psikhologis masyarakat juga menjadi pertimbangan. Dia memperhatikan teks dan konteks.
Hasilnya, hukum tegak, rakyat damai dan tidak ada yang dirugikan. Contoh ketegasannya terlihat pada diri dan keluarganya yang tidak boleh menggunakan fasilitas negara untuk urusan yang bukan dinas. Dalam hal keputusan yang tidak berdasarkan legal formal an sich, tampak ketika ia tidak memberlakukan wajib memberikan zakat kepada muallaf pada saat si muallaf itu dipandang sudah dapat berdiri sendiri, agar di dalam masyarakat tidak ada muallaf sepanjang masa yang senang dengan “tangan di bawah terus”.
Begitu juga halnya dengan tidak memberlakukan hukum potong tangan bagi pencuri ketika masyarakat Medinah pada waktu mengalami paceklik yang sangat parah. Secara legal formal, pencuri harus di hukum;akan tetapi pada konteks masa itu ada aspek lain yang perlu mendapat pertimbangan dan hal itu berlaku untuk kasuistik, tidak permanent. Dengan demikian, rakyat merasa terlidungi dari kesewenangan. Sebaliknya, pada ketika masyarakat stabil, maka pemberlakuan hukum merata dan tidak tebang pilih.Bandingkan dengan perlakuan hukum bagi si A, pencuri tiga buah coklat bukan untuk memperkaya diri dengan menilep uang negara, masuk penjara. Sementara, uang rakyat yang triliunan jumlahnya dikorup oleh penjahat negara, belum tersentuh hukum sama sekali, karena para penegak hukum kita berkutat pada asas legal formal semata. Makanya, korupsi terasa tapi tidak dapat dituntut karena tidak ada bukti formalnya, bagaikan mencium bau busuk kentut yang tak berbunyi, tapi siapa pelakunya kita tidak tahu atau pura-pura tak tahu. Inilah masalanya.
Pada masa Orde Baru, pernah lahir Umar-umar baru, seperti DR. Muhammad Hatta (proklamator), Jenderal Hugeng dan lain-lain yang tergabung pada Petisi 50 mengkritisi kebijakan Pemerintah ketika itu, terutama di bidang hukum. Sayangnya, kebenaran yang dimunculkan dipandang salah. Tokoh-tokohnya dikucilkkan bahkan ada yang dijebloskan ke dalam penjara. Maka berjalanlah hukum berpuluh-puluh tahun di negeri ini seperti yang kita gugat sekarang yang sudah begitu parah. Akan adakah Umar baru di era reformasi ini, kita tunggu. Kalau ada, mari kita dukung; bukan dilumpuhkan sebagaimana halnya di masa silam. Semoga… Allah a’lam bi al-shawab.
Discussion about this post