SEKATO.ID | JAKARTA – Masih hangat di dalam ingatan masyarakat berita yang begitu miris dan membuat tidak habis pikir. Herry Wirawan seorang pemilik dari Pondok Pesantren Madani dan pengelola Yayasan Manarul Huda Antapani melalukan kekerasan seksual kepada 13 santriwati di Bandung, Jawa Barat. Kejahatannya ini dilakukan dari rentang waktu tahun 2016–2021.
Atas kejahatannya tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) memberikan tuntutan yang salah satunya adalah menjatuhkan hukuman mati ditambah dengan hukuman kebiri kimia. Walaupun pada akhirnya Majelis Hakim yang dipimpin oleh Yohanes Purnomo Suryo menjatuhkan vonis hukuman penjara seumur hidup bagi Herry.
Tapi yang menjadi pertanyaan bagi masyarakat awam adalah, apakah korban berhak mendapatkan ganti rugi atas kejadian yang sudah menimpanya? Walaupun jika dilihat dari aspek psikologis, kejadian yang dialami oleh para santriwati di kasus Herry Wirawan, kemungkinan besar akan menimbulkan trauma berkepanjangan sehingga tidak ada hal yang bisa “menggantikan kerugian” atas apa yang mereka alami.
Namun pada dasarnya, hukum di Indonesia mengatur tentang pemberian ganti kerugian kepada korban tindak pidana, yang disebut dengan restitusi dan kompensasi. Mengenai pemberian restitusi dan kompensasi ini diatur di dalam beberapa peraturan perundang-undangan salah satunya Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 yang telah diubah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020. Dan yang paling baru adalah terbitnya peraturan pelaksana dari PP No. 7 Tahun 2018 yaitu Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana.
Berdasarkan Pasal 1 dari Perma No. 1 Tahun 2022, restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga. Sedangkan kompensasi, adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tindak pidana tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Perma No. 1 Tahun 2022 ini berlaku bagi permohonan restitusi atas tindak pidana seperti : pelanggaran HAM yang berat, terorisme, perdagangan orang, diskriminasi ras dan etnis, tindak pidana terkait anak. Serta berlaku juga bagi permohonan kompensasi atas tindak pidana pelanggaran HAM berat dan terorisme sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebagai peraturan pelaksana, di dalam Perma No. 1 Tahun 2022 ditentukan juga jangka waktu pemberian restitusi oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga, paling lambat 30 hari sejak penetapan dari pengadilan (Pasal 30 ayat 5). Dalam hal kompensasi, pemberiannya dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) kepada korban tindak pidana HAM berat maksimal 30 hari sejak penetapan pengadilan sejak salinan putusan pengadilan diterima (Pasal 31 ayat 3). Sedangkan untuk korban tindak pidana terorisme maka pemberian komepensasi oleh LPSK dilakukan paling lambat 90 hari sejak salinan putusan pengadilan diterima oleh LPSK (Pasal 32 ayat 2).
Keberadaan Perma No. 1 Tahun 2022 ini menjadi hal yang positif dalam pemberian keadilan bagi korban tindak pidana. Karena dengan terbitnya peraturan ini menunjukan bahwa hukum pidana di Indonesia tidak hanya berorientasi kepada kepentingan pelaku, namun juga memperhatikan hak dan perlindungan dari korban tindak pidana yang terwujud melalui pemberian restitusi dan kompensasi.
Sumber: ngertihukum.id
Discussion about this post