SEKATO.ID – Laporan Global Islamic Fintech Report 2021 oleh Dinar Standard mengungkap Indonesia punya peran penting dalam teknologi finansial (fintech) syariah secara global.
Indonesia menjadi salah satu negara teratas market size transaksi mencapai US$2,9 miliar selama 2020.
Indonesia menduduki peringkat ke-5, di bawah Arab Saudi (US$17,9 miliar), Iran(US$9,2 miliar), Uni Emirat Arab (US$3,7 miliar), dan Malaysia (US$3 miliar). Adapun, total market size fintech syariah dari 57 negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI atau Organisation of Islamic Cooperation/OIC) sepanjang 2020 mencapai sekitar US$49 miliar.
Walaupun angka ini baru mencerminkan 0,7 persen dari pangsa fintech global secara keseluruhan, namun transaksi fintech syariah diproyeksi mencapai US$128 miliar pada 2025 dengan tingkat pertumbuhan kumulatif tahunan (CAGR) 21 persen.
Indonesia juga posisi teratas dalam capaian skor indeks global Islamic fintech (GIFT) dengan 66 basis poin, yaitu peringkat ke-4 dari 64 negara OIC dan Non-OIC pilihan yang telah aktif mendukung ekosistem fintech syariah. Malaysia memiliki skor tertinggi, yaitu 87.0 poin, disusul Arab Saudi dengan skor 76 poin, serta UAE di peringkat ke-3 dengan skor 70 poin. Adapun, Indonesia tercatat memiliki skor di atas negara Non-OIC terbaik soal fintech syariah, yaitu UK dengan 56 poin. Negara lain yang masih menduduki posisi 10 besar, di antaranya Bahrain, Kuwait, Iran, Pakistan, dan Qatar.
Oleh sebab itu, dari sisi potensi suatu negara menjadi Hubs Fintech Syariah, Indonesia terbilang mature, atau masih dalam posisi Low Growth, High Conduciveness, masih kalah dari Malaysia dan UAE yang masuk kategori leader (High Growth, High Conduciveness).
“Arab Saudi, Indonesia, Iran, dan Bahrain, kawasan yang kondusif bagi platform fintech syariah, walaupun menunjukkan pertumbuhan yang relatif rendah di tingkat domestik dalam ukuran pasar. Terutama Arab Saudi dan Indonesia, mungkin lebih menarik bagi investor tahap later-stage,” tulis laporan ini seperti dikutip dari Bisnis.com, Jumat (16/4/2021).
Indonesia diharapkan mampu meraup market size transaksi dari seluruh jenis fintech syariah, antara lain crowdfunding, insurance, alternative finance, lending, digital assets, raising fund, wealth management, dan social finance mencapai US$8,3 miliar pada 2025.
Dari indikator assesstment, kelebihan Indonesia paling utama berada pada sisi capital, sharia compliance & talent dengan nilai 4 dari 5, sementara partisipasi bank, regulasi, kedekatan konsumen, dan akses ke fintech internasional hanya bernilai 3 dari 5.
Sementara iklim regulasi yang kondusif buat perkembangan fintech syariah di Indonesia berada di sektor lending, crowdfunding, payments, dan e-money.
Sebagai perbandingan, Malaysia melahap indikator market share islamic finance, regulasi, talent, dan kedekatan konsumen dengan nilai sempurna, sisanya bernilai 4 dari 5. Inisiatif regulasi pun sudah lebih maju, yang kini mengarah kepada Digital Currency & Tokens, E-Money, EKYC, Digital Banking, dan Digital Assets.
Dengan sorotan besar terhadap Malaysia dan juga Indonesia ini, ASEAN pun pada akhirnya turut menjadi kawasan paling diperhatikan berkaitan industri fintech syariah, menurut para responden yang terdiri dari 300 lebih pemain fintech syariah di negara OIC dan Non-OIC pilihan.
Sebanyak 36 persen responden mengawasi ASEAN sebagai kawasan dengan pertumbuhan ekosistem fintech syariah paling cepat pada 2021. Kawasan ini juga menjadi yang ‘terpanas’ atau tertinggi dari sisi global opportunity heatmap fintech syariah, mengalahkan kawasan MENA-GCC dan Eropa, juga South & Central Asia.
Discussion about this post