SEKATO.ID | JAKARTA – Rencana PPN 12 Persen terhadap Sembako dan Pendidikan banyak dapat tanggapan dari berbagai kalangan. Hal tersebut akhirnya membuat Kementerian Keuangan memberikan penjelasan.
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menjelaskan ada salah makna dalam kebijakan PPN 12% yang diimbaskan ke sejumlah komoditas sembako dan jasa pendidikan. Menurutnya, wacana tersebut merupakan bagian kecil dari konsep RUU KUP yang pasalnya dipotong dan dicabut, sehingga bunyinya terlepas dari maknanya.
“Itu yang terjadi, jadi ada satu pasal yang di dalam draft itu mengatakan bahan kebutuhan pokok bukan lagi barang yang dikecualikan dari objek PPN. Di sisi lain, bicara tarif pajak, kemudian dicantolkan seolah-olah dikenakan tarif PPN,” ungkap Yustinus dalam Polemik MNC Trijaya bertemakan “Publik Teriak Sembako Dipajak” di Jakarta, Sabtu(12/6/2021).
Dia menyebutkan, justru saat ini pemerintah mendesain satu RUU yang cukup komprehensif. Isinya ada tentang pajak karbon, upaya menangkal penghindaran pajak yang sangat masif dilakukan, terutama oleh perusahaan-perusahaan multinasional.
“Lalu juga ada rencana kenaikan tarif PPh orang pribadi supaya yang mampu membayar pajak lebih tinggi, dan ada juga konsep-konsep lain, salah satunya PPN ini,” tambah Yustinus.
Dia mengatakan, persoalan PPN ini menjadi polemik karena sekarang ada distorsi. “Contoh, beras premium, kalo beli 1 kg Rp50 ribu, itu tidak kena PPN. Tapi kalau beli beras di pasar tradisional yang 1 kg Rp10 ribu, itupun tidak kena PPN,” ucap Yustinus.
“Ini ada distorsi, jadi pengecualian yang terlalu luas itu membuat kita gagal mengadminitrasikan dengan baik dan gagal mengajak yang mampu untuk berkontribusi membayar pajak. Ini yang sebenarnya ingin kita atasi,” terang Yustinus.
Sumber: okezone
Discussion about this post