BICARA utang pemerintah sebenarnya sudah ada sejak orde lama, sedikit membesar pada orde baru. Kini ? utang pemerintah makin tak terkendali. Sebelum Pandemi Covid 19 pada akhir tahun 2019 utang Indonesia mencapai 4.765 triliun. Saat pandemi Covid 19 ketika penerimaan negara minim dan belanja belanja perlindungan sosial besar, utang seolah menjadi instrumen satu – satunya untuk menuntup defisit, bahkan untuk membayar bunga dari hutang itu sendiri.
Memasuki akhir tahun 2021. Posisi utang pemerintah menembus sekitar Rp 6.625.4 triliun setara 3 tahun APBN atau ekuivalen dengan porsi 41,64 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Kenaikan rasio utang di atas dalam batas tertentu masih bisa diterima logika. Alasannya sederhana. Angka PDB (sebagai faktor pembagi) yang minus niscaya akan menaikkan rasio utang. Apalagi utang nominal (sebagai unsur pembilang) juga mengalami kenaikan yang besar.
Alasan kedua, kondisi perekonomian yang sedang mengalami tekanan berat menuntut pemerintah berperan sebagai lokomotif ekonomi. Alhasil, kenaikan rasio utang selama dua lebih pandemi Covid-19 ini tidak terlepas dari fungsi utang sebagai instrumen melawan konjungtur (countercyclical) ekonomi.
Resiko atas utang negara yang menggunung saat ini, adalah gagal membayar utang (default). Resikonya bukan hanya pada kesejahteraan, tapi ancaman pada kedaulatan RI. Hal ini bisa terjadi karena jika sampai Indonesia gagal bayar utang, maka harus meminta talangan kepada Dana Moneter Internasional (IMF).
Masalahnya dalam memberikan ‘pertolongan’ IMF akan memberlakukan banyak persyaratan. Nah, syarat inilah yang berpotensi mengganggu kedaulatan RI.
Kondisi ini pernah terjadi pada krisis ekonomi 1998 silam. Sebagai pengingat, Indonesia pernah menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan IMF sebagai wujud kesepakatan mereka untuk membantu memulihkan Indonesia akibat krisis moneter.
Sayangnya, setelah penandatanganan LoI kondisi Indonesia malah semakin buruk dan rupiah terpuruk. Syarat menaikkan harga BBM, harus begini begini, harus begitu, mendikte kebijakan negara, membuat kedaulatan sudah terpangkas.
Sebelumnya, kekhawatiran pemerintah tidak bisa membayar utang disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Pasalnya, rasio utang Indonesia terhadap penerimaan sudah tembus 369 persen atau jauh di atas rekomendasi International Debt Relief (IDR) yang hanya sebesar 92-176 persen dan rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 90-150 persen.
Pemerintah berhati-hati dalam mengelola utang. Karena mayoritas atau 85 persen komponen utang berasal dari pasar uang, sehingga bisa mengancam stabilitas makro ekonomi khususnya pelemahan nilai tukar rupiah.
Kondisi ini berbeda dengan komposisi utang pada orde lama dan baru yang sepenuhnya berasal dari pinjaman luar negeri, baik dari lembaga keuangan internasional maupun bilateral. Skema pinjaman tersebut memberikan peluang kepada Indonesia untuk melakukan penjadwalan ulang pembayaran utang (restrukturisasi) atau penundaan karena investornya ratusan.
Selain itu kenaikan rasio utang diklaim sesuai dengan target di akhir tahun ini yang berkisar di antara 41 persen – 43 persen agaknya patut diberi catatan. Penggunaan kata ‘target’ memberikan kesan bahwa angka ini adalah parameter yang harus direalisasikan. Ironis jika kemudian pemerintah dianggap ‘gagal’ ketika tidak mampu mencapainya.
Atribut ‘target’ niscaya lebih tepat apabila dilekatkan pada sasaran yang bermakna positif, misalnya pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan pemerataan distribusi pendapatan. Dengan mengejar angka target ketiganya, pemerintah mengirim sinyal gereget dalam membangkitkan optimisme.
Fenomena salah kaprah juga terjadi pada penelaahan jangka menengah-panjang. Penjelasan rasio utang 41,64 persen masih cukup ‘aman’ lantaran jauh di bawah batas 60 persen dari PDB, sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara perlu digarisbawahi pula.
Penggunaan jargon ‘aman’ dengan mengacu pada rambu-rambu rasio utang 60 persen menyodorkan penafsiran bahwa penambahan utang masih sah ditempuh pemerintah. Oleh karena itu, ada atau tidak ada pandemi Covid-19 sekalipun, kenaikan utang untuk membiayai defisit anggaran seolah menjadi hal yang lumrah.
Padahal rasio utang sebesar 60 persen itu sendiri hingga kini sejatinya masih menjadi perdebatan sejumlah kalangan. Secara teknis, angka tersebut berasal dari hasil simulasi IMF berdasarkan nilai median data lintas negara yang menghubungkan antara PDB dengan utang. Artinya, tidak ada landasan ilmiah yang kokoh untuk mengklaim bahwa porsi 60 persen sebagai rasio yang aman.
Oleh karenanya, kaidah di atas tidak seharusnya dipandang sebagai jaminan posisi yang ‘aman’. Rasio utang terhadap PDB sebesar 60 persen, bahkan bisa lebih tinggi lagi, hanya cocok untuk negara maju. Sebaliknya, rasio 40 persen adalah rekomendasi untuk negara berkembang yang dalam jangka panjang tidak boleh dilanggar.
Lebih lanjut, mengaitkan kenaikan utang dengan merosotnya penerimaan negara bisa memberikan implikasi yang melenceng. Dalam konteks ini, utang bisa dipahami sebagai substitusi temporer bagi penerimaan. Namun jika keterusan (dan nyatanya memang begitu), utang di alam bawah sadar akan dianggap sebagai ‘penerimaan’ juga. Jika sudah begini pemerintah tak akan punya kreasi lain selain berutang.
Discussion about this post