SEKATO.ID, SUNGAI PENUH – Polemik minimnya anggaran publikasi media di Kota Sungai Penuh kini menyeret nama DPRD sebagai lembaga legislatif yang ikut dianggap bertanggung jawab atas “pelecehan sistematis” terhadap insan pers.
Setelah publik dikejutkan oleh minimnya alokasi dana publikasi dari Pemkot Sungai Penuh hanya Rp 300 ribu per media untuk tiga kali tayang, kini muncul fakta bahwa tak satupun anggota DPRD bersuara menolak atau memperjuangkan revisi saat pembahasan APBD.
Di tengah sorotan publik, DPRD justru terkesan “diam dan mengamini” kebijakan tersebut. Hal ini menuai kritik tajam dari kalangan jurnalis lokal, yang menilai wakil rakyat tidak menjalankan fungsi kontrol anggaran secara adil dan berimbang.
“Kalau eksekutif keliru, legislatif seharusnya jadi penyeimbang. Tapi kalau dua-duanya diam, maka ini bukan lagi kelalaian, tapi kesepakatan diam-diam untuk membungkam media,” tegas salah satu pimpinan media lokal di Sungai Penuh.
Kritik juga datang dari Ketua PWI Kerinci-Sungai Penuh, Dedi Dora, yang menyayangkan sikap DPRD yang dianggap tidak memahami esensi keterbukaan informasi publik.
“Ini bukan hanya soal nominal Rp 300 ribu, tapi tentang bagaimana negara melalui pemerintah dan DPRD menghargai profesi wartawan dan menjunjung demokrasi. Saat DPRD tak bersuara, mereka ikut dalam ketidakadilan ini,” ujarnya.
Lebih lanjut, Dedi menyebut, dalam sejarah anggaran Kota Sungai Penuh, baru kali inilah insan pers mengalami degradasi sedemikian rupa. Bahkan DPRD yang selama ini dikenal vokal, kini justru memilih bungkam.
“Jangan hanya kritis kalau anggaran proyek, tapi diam saat anggaran pers dipreteli. Ini pengkhianatan terhadap nilai keterbukaan,” tambahnya.
Sikap DPRD ini dianggap menunjukkan bahwa mereka tidak berpihak pada transparansi dan kontrol sosial yang sehat. Padahal, salah satu fungsi utama legislatif adalah menjaga keseimbangan dan memastikan tidak ada kebijakan yang merugikan publik, termasuk insan media.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan serius:
Apakah DPRD Sungai Penuh juga tak ingin dikritik oleh media? Apakah diamnya mereka adalah bagian dari strategi membungkam pers secara perlahan?
Jika DPRD tetap tidak bersikap, maka kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif bisa tergerus. Media pun diperkirakan akan mengambil sikap tegas: tidak lagi memberi panggung pada pemangku kebijakan yang tak menghargai eksistensi mereka.
“Media bisa membantu membangun daerah, tapi juga bisa memilih untuk diam. Dan diamnya media bisa lebih berbahaya dari kritik,” pungkas salah satu jurnalis senior.
(Rgk)
Discussion about this post