SEKATO.ID | JAMBI — Panitia Khusus (Pansus) Konflik lahan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jambi akan berusaha memperjuangkan hak-hak warga Suku Anak Dalam (SAD) di Merangin dan Sarolangun, Jambi.
“Pansus akan berada di tengah untuk menyelesaikan masalah ini,” kata Ketua Pansus Konflik Lahan, Wartono saat mendengar keluhan warga SAD di Gedung DPRD Provinsi Jambi.
Wartono mengatakan bahwa selama ini warga SAD merasa keberadaan PT SAL membuat mereka susah untuk mencukupi kebutuhan hidup. Sementara itu pemberian dari pihak perusahaan dirasakan belum terlalu memadai.
“Ibaratnya orang kelaparan nangis minta makan tapi dikasih permen,” ujar Wartono.
Sekretaris Pansus, Ivan Wirata (IW) khawatir konflik ini akan terus berlanjut mengingat persoalan ini menyangkut hajat hidup mereka (SAD).
Sementara itu, salah seorang anggota Pansus, Sapuan Ansori menanyakan kapan ijin Hak Guna Usaha (HGU) dari PT SAL berakhir. Jika pihak perusahaan mengajukan perpanjangan HGU, Kata Sapuan di situ ada peluang untuk memberikan hak-hak warga SAD.
“Kalau memang HGU-nya diperpanjang itu ada kewajiban 20 persen yang harus dikeluarkan oleh pihak perusahaan,” kata Sapuan.
Sebelumnya, perwakilan warga SAD menjelaskan jika dulunya lahan ribuan hektar itu merupakan tempat mereka tinggal, sekaligus sumber mata pencaharian mereka.
Namun, situasi berubah saat pemerintah memberikan ijin kepada PT SAL menggarap lahan yang menurut mereka adalah hutan ulayat mereka. Selain kehilangan hutan, mereka juga susah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Bagaimana kami mau makan kalau binatang buruan itu sudah tidak ada lagi. Bagaimana keberlangsungan anak cucu kami?” ujar salah seorang warga SAD.
Ia tidak memungkiri, selama ini pihak perusahaan memang memberikan bantuan. Namun pemberian itu dinilai tidak memadai.
“Kami diberi beras 10 kg juga gula setiap bulannya. Tapi apakah cukup?” tegasnya.
Untuk itu, dia berharap agar pemerintah dapat memberikan solusi dalam menyelesaikan persoalan yang sudah berlangsung cukup lama.
“Orang luar dikasih (bentuk plasma), kami yang tinggal dari nenek moyang kami tidak,” ujarnya.
Sementara itu, Perwakilan Warsi yang ikut mendampingi warga SAD, Robert menuturkan jika pihak perusahaan pernah memberikan kompensasi saat akan menggarap hutan yang dihuni SAD itu dulu.
Kompensasi berupa lahan seluas 2 hektar per kepala keluarga (KK), akan tetapi dari keseluruhan warga SAD yang ada di sana hanya 37 KK yang diberikan.
“Itu pun bukan pemberian akan tetapi hutang,” tegasnya.
Oleh karena tidak mampu bayar, akhirnya warga SAD menjual lahannya sendiri.
Saat ini, warga SAD bertahan dengan mendirikan tenda-tenda di dalam lahan perusahaan yang dulunya adalah hutan mereka. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Robert menyebutkan warga SAD mengambil buah sawit perusahaan yang jatuh untuk dijual.
“Namun mengambil brondol inilah yang sering menyebabkan konflik karena pihak perusahaan melarang,” sebutnya.
Robert mengaku sudah berusaha mencari jalan keluar untuk mengatasi persoalan tersebut. Namun sampai saat ini belum membuahkan hasil yang memuaskan.
“Kami sudah lapor pak Bupati, Pak Gubernur, BPN Pusat bahkan sampai ke Komnas HAM,” bebernya. (*/ara)
Discussion about this post