SEKATO.ID – Haris Amir Falah pria yang akrab dipanggil Ustad Haris ini pernah terjebak pada pemikiran radikal. Ia pernah menjalani hidup di balik jeruji penjara selama 4,5 tahun akibat percobaan makar. Proses panjang mengenali Islam sebagai agama pembawa rahmat dan toleran ditemui setelah menerima hukuman penjara.
Pemikiran radikal tersebut telah menyusupi sejak dia duduk di bangku kelas 2 SMA. Pada 1984, guru matematikanya mengenalkan pemikiran radikal sehingga membuat Haris memantapkan diri untuk bergabung dengan kelompok tersebut.
“Setelah diajak, saya lantas mengikuti pengajian mereka dengan pembinaan utama selama tiga hari. Setelah itu saya mendapatkan doktrin-doktrin radikal secara terus menerus. Hingga pada hari ketiga saya memutuskan untuk hijrah ke dalam kelompok tersebut,” ungkap Haris pada Selasa (18/2/2020), dikutp dari Jawa Pos.
Sejak aktif dalam kegiatan kelompok tersebut ia dianggap belum menjadi Islam karena belum pernah bersyahadat. Untuk membuktikan keislamannya, Haris kemudian mengambil sumpah syahadat bersama anggota kelompok tersebut.
“Dan sejak itu, sikap saya terhadap orang yang tidak bersyahadat bersama saya, meski dia muslim, adalah kafir. Saya selalu menarik garis pada mereka, bahwa meski mereka Islam, namun, mereka bukan Islam menurut saya,” katanya.
Mengkafir-kafirkan orang yang berbeda golongan merupakan hal biasa baginya. Bahkan dia pernah menganggap harta orang selain kelompoknya halal untuk dicuri.
“Saya biasa mengambil harta orang dan menjadikannya sebagai kekayaan jamaah. Karena pandangan saya saat itu saya merampas dari orang kafir. Dan hal tersebut saya lakukan sampai sekitar akhir 2009,” katanya.
Haris mulai mengenal Islam yang toleran ketika mengikuti Kongres Mujahidin di Jogjakarta tahun 2010. Konsep berjuang menegakkan syariat lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan mengedepankan dialog dan diplomasi menggugah dirinya. Akhirnya ia sadar, berjuang dengan konsep radikal justru mendatangkan lebih banyak mudharat.
“Sekarang orang akan lebih tertarik. Bahwa Islam itu tidak seperti sebagaimana yang saya pelajari dulu. Islam menjadi agama pembawa rahmat dan toleran,” katanya.
Selama menjalani bui di penjara, dia mengenal berbagai macam orang dan juga didatangi aparat keamanan negara. Di sana Haris menemukan nilai-nilai Islam yang lebih toleran.
“Semangat saya tetap sama. Bagaimana cara mencegah berkembangnya pemikiran-pemikiran radikalisme yang akhirnya memunculkan sikap intoleran terhadap keadaan yang ada,” katanya.
Haris optimistis, meski sudah ada masyarakat yang terpapar, mereka masih bisa berubah. Perubahan itu bisa diusahakan oleh masing-masing orang. Meski stigma miring masyarakat masih melekat terhadapnya, Haris tetap konsisten menyebarkan kebaikan. Baik melalui forum diskusi ilmiah maupun bedah buku.
“Saya mencoba menulis perubahan pemikiran dan sikap saya tentang ajaran Islam. Dari paham yang ekstrem dan radikal menjadi moderat,” katanya.
Haris mengamini jika dia pernah menjadi ketua Lajnah Perwakilan Jakarta, Majelis Mujahidin Indonesia pada 2001-2008, Amin Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) pada 2008-2010, Amin Jamaah Ansharut Syariah (JAS) Jakarta pada 2013-2016. Selain itu dia pernah menjadi pembina Lembaga Dawah Thoriquna 2017 hingga sekarang menjadi pendidik di SMP Darul Ma’arif Jakarta dan SMA Negeri 46 Jakarta.
Secara terpisah, pengamat pergerakan Islam Amir Mahmud mengatakan, radikal bisa dibagi dalam tiga hal yakni, lisan dengan ujaran kebencian, perilaku dengan melakukan kekerasan, dan bentuk ekstrem yang ingin mengubah tatanan nilai bangsa.
“Radikalisme itu seseorang atau kelompok yang melakukan paham radikal. Mereka bukan Islam dan Islam bukan radikalisme,” katanya.
Discussion about this post