What happened? Adalah pertanyaan simpel yang bersayap dan penuh makna, bila dihadapkan ke pemerintah dan masyarakat, bagaimana hubungan sosial, politik dan hukum pada komunitas Indonesia dalam perspektif agama yang dianut anak bangsa yang multi etnis di bawah kebhinekaan Indonesia.
Pertanyaan ini mudah dilontarkan; akan tetapi sulit menjawabnya manakala dilihat secara empirik. Kalaulah antara pemerintah dengan masyarakat ta’at asas memahami agama dari hulu ke hilir dalan sosial, politik dan hukum, maka masalahnya akan cair, damai dan tidak saling hujat serta tidak saling mengorbankan. Untuk itu, menarik ditelusuri dari hulu sampai dengan hilir tentang beragama dalam negara yang multi etnik dan bagaimana pemerintah merajutnya dalam kebhinekaan dari masa ke masa mulai lahirnya “Indonesia”.
Ditelusuri dari syarat-syarat satu negara berdiri adalah adanya masyarakat; adanya wilayah yang berdaulat, adanya pemerintahan dan undang-undang atau aturan yang mengikat para warga.Bagi Indonesia mardeka semua syarat itu sudah terpenuhi. Akan tetapi kesemuanya itu, sudahkah terimplementasi secara baik dan maksimal. Inilah pertanyaan inti yang jawabannya akan memberikan sinyal bahwa kenapa bangsa ini sampai hari ini masih seperti ini (baca: buku Adrianus Chatib: 2010) dan Hukum Tak Kunjung Tegak (Mahfud MD: 2007; Demokrasi dalam Islam; Visibilitas Teoritis dan Aplikasi Historis (Adrianus Chatib: 2008).
Dalam kajian moderasi dan toleransi bahwa hubungan umat beragama sesama umat beragama dan umat beragama dengan pemerintah ada tali pemgikatnya yang harus sama-sama dipatuhi dan diihormati. Bukan patuh kayak kerbau dicocok hidung; akan tetapi ada aturamainnya. Dengan menjalankan aturan main itu muncul moderasi, toleransi dan saling mengharagai pada wilayah ukhuwah dan persatuan berdasarkan kemanusiaan; bukan berdasarkan keimanan. Karena, keimanan mempunyai wilayah tersendiri yang tidak bisa dipaksakan bagi satu agama kepada penganut agama lainnya. Di dalam Islam, moderasi dan toleransi keimanan itu diterjemahkan dalam kehidupan bermasyarakat dengan merujuk kepada apa yang diminta Allah “Saya tidak akan menyembah sembahanmu; kamu juga tidak akan menyembah sembahanku; agamamu untukmu, agamaku untukku”
Artinya, sepakat di dalam ketidaksepakatan. Bukan dalam arti apa yang kamu imani, saya juga mengimaninya. Bukan pula semua agama; akan tetapi semua agama sama-sama agama dengan menjalani tauhidnya sendiri-sendiri; sekalipun logik bagi satu penganut agama, sebaliknya tidak masuk akal menurut logika agama lain.Lihat saja sebagai contoh tauhid umat Hindu, tauhid umat Kristiani dengan tauhid umat Islam dan seterusnya.
Bila dalam koridor ini, moderasi dan toleransi diletakan, maka akan damailah umat beragama ini baik hubungan sesamanya atau hubungannya dengan pemerintah; baik personal maupun secara kolektif. Apa yang diutarakan tersebut di atas adalah kajian teoretiknya atau apa yang seharusnya. Akan tetapi di dunia kenyataan (empirik), tidak selalu bersinergi antara keduanya. Di sinilah pangkal masalahnya bahwa demokrasi diuji ; moderasi disalah artikan dan toleransi pukul rata di semua tataran.
Kalau kita beranalogi pada peraturan lalu lintas saja ada aturan. Aturan parkir; forbiden parkir, aturan menyalib atau mendahului; aturan kecepatan. Lebih dari itu, siapa yang boleh menjadi sopir. Makanya, terjadinya kecelakaan, bukan aturan atau rambu-rambu yang tidak ada; akan tetapi lebih disebabkan human erornya yang mengelabui aturan. Analogi ini bisa kita pakaikan untuk catatan demokrasi kita dalam hubungannya dengan moderasi dan toleransi beragama.
Kandasnya demokrasi di Indonesia bukan salah pada undang-undang dan aturan berdemokrasinya yang lemah; akan tetapi pengamal dan penganut demokrasi yang salah kaprah. Dengan salah kaprah itu, sesuatu yang indah menjadi tidak indah. Indonesia damai adalah idaman anak bangsa. Akan tetapi karena anak bangsa banyak yang curi star, ibarat pacu lari. Ada yang menelikung lawan penganut agamanya. Ada pula yang offside karena saking asyiknya, sehingga rambu-rambu demokrasi, moderasi dan toleransi campur-aduk dan tidak berdiri pada posisi yang disepakati; maunya menang sendiri. Akibat bertindak offside, Yoseph Paul Zhang menjadi tersangka dengan delik penistaan agama dan sekarang ia buronan polisi.
Penistaan agama seharusnya tidak perlu terjadi, karena agama yang keimanan tidak bisa dipaksakan kepada seseorang. Iman itu adalah produk hati di samping hidayah dari Allah. Iman itu sangat pribadi sifatnya. Makanya, tidak ada iman kolektif. Mengimani Allah bisa dilakukan berjama’ah, tapi panggilan iman itu sendiri sangat persoonal. Justru, pada arti yang sesungguhnya, tidak ada jual beli iman. Karenanya, tidak ada pasar iman atau toko iman. Akan tetapi dalam arti politik bisa saja iman itu dibeli. Hanya saja iman dalam arti poltik bukan iman pada hakekatnya, kecuali pura-pura beriman.
Paul Zhang sudah jadi tersangka dan itu urusan polisi menanganinya sampai ia dinyatakan pengadilan bahwa bersalah dengan bukti-bukti sah. Akan tetapi perbuatan yang bertanggung jawab yang dilakukan Zhang karena off side berdemokrasi, off side bertoleransi, tidak akan mengurangi iman umat muslim terhadap kecintaan umat Islam pada Nabi Muhammad SAW, walaupun ia meraung- raung ke langit membai’at dirinya sebagai nabi ke-26 versi dia, karena Paul Zhang “nabi” offside. Syarat-syarat Nabi itu kan ada; tidak ujuk-ujuk jadi Nabi. Apa nama kitab sucinya. Sahabat-sahabatnya, siapa. Kapan ia menerima wahyu. Kalau benar ia menerima wahyu karena ia kristiani, maka lebih tepat dikatakan pelanjut Nabi Isa. Apa benar ia Nabi, kalau hanya melontarkan diksi seperti itu. Dilihat dari di sini, kelihatannya ia mengalami stress berat. Ia beralusiminasi saking beratnya tekanan jiwanya. Karena melakukan ujaran kebencian, maka tepat sekali polisi menetapkannya sebagai tersangka. Tapi lebih dari itu, jangan lupa membawanya ke psikhiater. Ada rada-rada dan nada kejiwaannya terganggu.
Jadi, apapun yang dia katakan, umat Islam tidak perlu marah karena Zhang sedang berilusi dan beralusinasi. Ia sedang berada di luar dirinya; ketika ini, ia bukan dirinya. Nanti ia akan sadar sendiri, ketika tidak ada pengikutnya. Balik kita bertanya, apa ada nabi tanpa pengikut. Bukan hanya umat Islam, umat kristiani juga mengatakan bahwa ngaurnyapĺ Zhang bukan representasi umat kristiani.
Kalau boleh beranekdok, bagaimana cara memujinya, kalau ia seorang nabip. Di masing-masing agama ada kalimat sanjungan kepadanya sebagai nabi. Di daklam Islam umpamalnya; salah satu bentuk kecintaan umat Islam kepada Nabi Muhammad SAW. Ada salawat kepadanya, “Ya Allah beri keselamatan kepada Penghulu kami Muhammad dan begitu juga kepada keluaganya” Sebaliknya, seperti apa lapaz salawat kepada Paul Zhang; apakah sama dengan lapaz yang terbit di atas. Umpamanya: “ya Allah beri keselamatan kepada Zhang …”, wah bunyinya saja terganggu telinga yang mendengarnya.
Kesimpulannya bahwa negara yang majemuk etnis, budaya dan agama, pasti banyak gesekan berdemokrasi, makanya aturan berdemokrasi harus jelas dan tegak. Pemerintah sebagai penegak demokrasi dan masyarakat sebagai pengamalnya harus tahu rambu-rambu mana yang “halal” dan mana pula domain yang “haram”. Bila hal bisa dilakukan dengan, maka di negara multi etnis dan agama, kedamaian akan menjadi kenyataan. Allahu a’lam.
Discussion about this post