SEKATO.ID, SUNGAI PENUH – Dunia jurnalistik di Kota Sungai Penuh tengah dipermasalahkan dengan minimnya alokasi anggaran publikasi dari Pemerintah Kota Sungai Penuh di bawah kepemimpinan Wali Kota Alfin dan Wakil Wali Kota Azhar. Ironisnya, dalam dua triwulan terakhir tahun 2025, anggaran yang disediakan untuk publikasi media hanya mencakup tiga kali berita per media, atau setara dengan Rp 300.000 saja.
Fakta ini memantik reaksi keras dari kalangan jurnalis lokal. Banyak yang menilai bahwa nominal tersebut tidak hanya minim secara finansial, tetapi juga merupakan bentuk pelecehan terhadap profesi wartawan dan pengingkaran terhadap peran media dalam membangun citra dan transparansi pemerintahan.
“Ini anggaran terparah sepanjang sejarah Kota Sungai Penuh. Kita seperti sedang diabaikan, atau bahkan dianggap tidak penting. Padahal, keberhasilan kepala daerah sering kali terlihat karena publikasi positif yang disampaikan oleh media,” ujar salah satu pimpinan redaksi media lokal yang enggan disebut namanya.
Di era keterbukaan informasi publik saat ini, media bukan hanya sekadar penyampai informasi. Media adalah corong demokrasi, kontrol sosial, sekaligus mitra strategis dalam membangun kepercayaan publik terhadap pemerintahan. Namun, dengan kebijakan anggaran yang begitu minim, muncul kesan kuat bahwa Wali Kota dan Wakil Wali Kota tidak menghargai eksistensi wartawan dan karya jurnalistik.
“Jangan salahkan media jika suatu saat nanti enggan mempublikasikan capaian pemerintahan, karena sejak awal mereka tidak dianggap,” lanjutnya.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan daerah lain di Provinsi Jambi, yang justru meningkatkan sinergi dengan media melalui program kemitraan yang transparan dan terukur. Beberapa kepala daerah bahkan menjadikan media sebagai garda terdepan dalam menyampaikan hasil pembangunan dan menjawab kritik masyarakat.
Minimnya anggaran publikasi ini juga menyiratkan kurangnya pemahaman pimpinan daerah terhadap pentingnya komunikasi publik. Tanpa publikasi yang baik, capaian sekecil apa pun akan tenggelam, dan kritik sekecil apa pun akan membesar.
Kini, para wartawan di Sungai Penuh mempertanyakan arah dan kebijakan komunikasi publik dari Pemkot di bawah Alfin–Azhar. Apakah ini bentuk kesengajaan untuk membungkam media? Ataukah memang ketidaktahuan akan fungsi strategis pers dalam roda pemerintahan?
Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kerinci Sungai Penuh, Dedi Dora, turut angkat bicara menanggapi polemik ini. Ia menyayangkan sikap Pemerintah Kota Sungai Penuh yang dinilainya tidak memiliki komitmen dalam membangun kemitraan sehat dengan insan pers.
“Ini bukan sekadar soal angka Rp 300 ribu. Ini mencerminkan cara pandang kepala daerah terhadap fungsi dan peran wartawan dalam membangun daerah. Ketika media dianggap remeh, maka keterbukaan informasi publik pun patut dipertanyakan,” tegasnya.
Wartawan senior di Kerinci Sungai Penuh ini menyampaikan, sepanjang pengamatannya selama ini, belum pernah ada pemerintah daerah yang menetapkan anggaran publikasi seminim ini. “Ini jelas bentuk pelecehan terhadap profesi wartawan. Kalau memang tidak ingin dikritik, setidaknya hormati peran pers sebagai mitra, bukan musuh,” tambahnya.
“Kalau tidak ada niat baik memperbaiki hubungan dengan media, jangan salahkan jika pemerintahannya berjalan tanpa dukungan informasi publik. Media bisa mempublikasikan, tapi juga bisa membungkam,” pungkasnya.
(Rgk)
Discussion about this post