Oleh : Mawardi, S.Pd
*Bersumber dari catatan Datuk Ramli Ibrahim
*Beberapa perubahan ejaan dan kosa kata agar mudah dipahami
SEJAK Negeri Jambi dan sekitarnya diduduki Belanda sejak 1858, rakyat Jambi mendirikan Persatuan Serikat Islam. Pada tahun 1916 terjadilah peristiwa pemberontakan terhadap Belanda. Saat itu ada seorang laskar bernama Duatip Bin Duahid asal Dusun Lubuk Mandarsah yang tertangkap Belanda namun berhasil melarikan diri ke Muara Tembesi. Sampai di Tembesi dia mengaku dirinya sebagai Raden Mattaher. Oleh karena masyarakat percaya dengan pengakuannya, maka diangkatlah ia menjadi Sultan Rajo Batu yang wilayah kekuasaannya adalah Muara Tembesi. Ia hanya bertahan di Muara Tembesi selama 15 hari disebabkan Belanda datang menyerang dengan kekuatan 7 kapal perang. Sultan Rajo Batu pun mundur ke Sengkati untuk menyusun kekuatan. Dari Sengkati diteruskan ke Teluk Rendah dan bermalam di rumah isterinya Badariah di dusun Teluk Rendah tersebut. Dari Teluk Rendah, Sultan Rajo Batu bersama rombongannya meneruskan perjalanan ke Betung Bedarah dan bermalam di rumah Ngebi Syamsudin.
Sepeninggal Rajo Batu yang melakukan perjalanan ke arah Muara Tebo, Sebagian pasukannya yang tinggal di Teluk Rendah mengadakan perlawanan terhadap Belanda dibawah Pimpinan Datuk Ijuk yang menimbulkan banyak korban di kedua pihak. Pasukan yang masih hidup segera menyusul Rajo Batu ke Muara Tebo dengan rute Teluk Rendah-Sungai Bengkal-Betung Bedarah-Lubuk Mandarsah-Semabu.
Mendengar pergerakan tersebut, Belanda memaksa rakyat Jati Belarik, Bedaro Rampak, Tambun Arang, Mangun Jayo, Dusun Tengah dan Teluk Pandak untuk membuat Benteng dari kawat2 berduru setinggi 5 meter. Sementara itu dari Rombongan Rajo Batu singgah di Pelayangan untuk mengatur penyerbuan ke Benteng Belanda di Muara Tebo.
Sultan Rajo Batu memerintahkan hulubalang2 sejumlah 60 orang dari Lubuk Mandarsah untuk masuk Muara Tebo pertama kalinya yang dipimpin Panglimo Jintan. Jumlah pasukan yang menyertai Hulubalang2 tersebut mencapai 900 orang termasuk rakyat Jati Belarik. Sebelum menyerbu, mereka beratib (berzikir).
Dikisahkan oleh Datuk Syawal Lubuk Mandarsah, yang mati dalam peristiwa itu adalah Legok, Belubur dan Kendomit yang berasal dari Sabun Pademan (Ketalo Dalam). Sedangkan yang luka parah adalah Depati Jayo, Datuk Riuh dan Congkah Kubung (Keturunan Ali Husin) Lubuk Mandarsah. Kemudian yang tertangkap adalah Abdul Hamid yang dibawa ke Jambi dan Batavia pada 1917.
Pertempuran berlangsung 1 hari penuh lalu pasukan Rajo Batu mengundurkan diri ke Sungai Tabir (istrinya Badariah ikut ke Sungai Tabir) yang disusul Pasukan Belanda. Disinilah Sultan Rajo Batu tertembak pahanya oleh Belanda lalu melarikan diri dengan menumpang perahu milik Abdul Hafis kebetulan lewat. Sultan Rajo Batu pun melarikan diri ke Tanah Garo. Namun Naas baginya karena serdadu Belanda saat itu sudah berada di Tanah Garo, maka tertangkaplah Sultan Rajo Batu kemudian dibawa ke Jambi dan dihukum pancung oleh Belanda. Badannya dikuburkan di Jambi dan kepalanya dibawa ke Batavia pada 1917.
Sementara itu pula di Sungai Bengkal jalan Kunangan di Pematang Gedang dalam pertempuran dengan Belanda, mati Datuk Kutung (Bahar) yang ditembak Belanda kemudian dikuburkan di Pematang Gedang. Kemudian Buyut Sampai Aji meninggal karena sakit dalam pengejaran Belanda di muara sungai itam anak Bulian Kecil dan dimakamkan di Bagan Bawah, Pauh pada 1916.
Jika daerah2 Indonesia lainnya sudah dikuasai Belanda sejak abad ke 17, maka daerah Kerajaan Jambi baru dapat dikuasai Belanda pada 1906 setelah lebih kurang 50 tahun Belanda menghadapi perlawanan yang dipimpin oleh Sultan Thaha. Kerajaan Jambi sering mengalami gangguan dari Pemerintah Belanda yang berpusat di Batavia (Betawi), Namun Belanda Belum mampu menghancurkan Kerajaan Jambi. Meskipun Belanda diijinkan membuka Kantor Dagangnya di Jambi, tapi rakyat terus menerus memboikotnya sehingga menimbulkan kerugian besar bagi Belanda.
=Tamat=
Discussion about this post