Nor Qomariyah
(Gender & Stakeholder Engagement Safeguard Specialist)
Pagi ini, mengawali hari-hari di kota Yogyakarta, tepatnya di Kabupaten Sleman. Lapangan Denggung yang menjadi ikon ‘jiwa kota Sleman’ adalah tujuanku untuk sekadar berlari pagi sambal menghangatkan badan akar tersinari oleh matahari yang muncul.
Saat memasuki lapangan yang begitu luas, aku temukan jogging track yang begitu asri dipenuhi berbagai pohon dan public space untuk sekadar mengobrol, sharing atau bahkan bersendagurau di taman bermain.
Taman ini terletak di Km 10 Jalan Magelang, tepatnya di kelurahan Denggung, Tridadi, Sleman, Yogyakarta.Terkesiap, mataku tertuju pada 3 patung besar yang berdiri di bagian pinggir jogging track, di tengah taman. Patung Gajah ini memiliki ukuran yang berbeda, ada Gajah induk dan dua Gajah kecil yang tak lain adalah anaknya.
Gajah di sini memiliki sebutan Liman. Area ini ditengarai dahulunya merupakan hutan, dan sejak pertamakali digaungkan dakwah keagamaan, Liman menjadi tunggangan atau transportasi sang pendakwah yang Bernama lengkap Ki Ageng Wonolelo. Ini berarti, dahulu Sleman merupakan area hutan yang luas 574, Km2 yang hingga kini area ini tetap asri dan Gajah menjadi salah satu lambang kebesaran area ini.
Dalam sejarah leluhur nusantara, Gajah merupakan satwa penting yang dihormati. Ganesha atau Bhatara Gana yang merupakan simbol penghancur segala rintangan, penganugerah kecerdasan dan kemakmuran, merupakan salah satu eksistensi betapa kita sangat dekat dengan Gajah.
Namun, interaksi dan domestikasi Gajah telah dikenal bagi masyarakat di nusantara kala itu, sejak abad sebelum masehi, dengan adanya situs Pasemah dalam catatan Van der Hoop tahun 1932, dimana situs arca tersebut berbentuk bulat telur yang dipahat berbentuk Gajah yang diapit prajurit di salah satu sisinya. Jadi, batu menhir yang diperkirakan dibuat tahun 2500 tahun lampau ini merupakan wujud dari domestikasi Gajah kala itu (Kompas.com.2009).
Datuk Gedang dan Landskap Bukit Tigapuluh Patung Gajah besar dengan belalai menjulur ke atas ini mengingatkanku pada satu wilayah di provinsi Jambi, yakni kawasan landskap Bukit Tigapuluh. Landskap ini begitu istimewa, menyimpan berbagai kaenakeragaman hayati yang bernilai tinggi, dan termasuk didalamnya adalah Gajah Sumatra (Elephas Maximus) yang dikenal dengan sebutan ‘Datuk Gedang’ dan hanya tinggal 200-an spesies.
Gajah-Gajah ini tentu saja memiliki area bermain, area mencari makan, area beristirahat hingga area jelajah yang tentu saja melintasi berbagai perkebunan, perkebunan bahkan pemukiman masyarakat. Si Datuk Gedang ini, juga memiliki kemampuan yang luar biasa, sama seperti kita manusia dengan otak yang beratnya mencapai 5 Kg di kepalanya, pemilik otak paling berat dibandingkan hewan lainnya.
Menurut Gajah.indonesia di laman Instagramnya menyebutkan bahwa Gajah adalah pembelajar yang megagumkan. Beberapa keistimewannya disebutkan bahwa Gajah memiliki neuron 3 kali lebih banyak darpada neuron manusia. Neuron merupakan sel saraf yang berfungsi untuk menyimpan dan mengirimkan informasi.
Dari 257 miliar neuron yang dimiliki Gajah, 250 miliarnya berada di otak kecil yang berfungsi mengontrol pernafasan, detak jantung, dan Gerakan. Hewan ini juga disebut memiliki kecerdasan seperti layaknya manusia, bahkan bisa menggunakan belalainya untuk mengangkat beban lebih dari 300 Kg, namun akan sangat berhati-hati saat memecahkan kulit kacang.
Datuk Gedang yang satu ini juga memiliki daya ingat yang luar biasa. Dia akan mampu mengingat temannya meski sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Bahkan bisa mengenali bangkai atau tulang temannya yang telah mati. Saat bertemu dengan bangkai atau tulang temannya yang telah mati, Gajah akan menyentuhnya dengan belalainya, menutupi bangkai atau tulang dengan tanah dan dedaunan, lalu membawa sisa gading temannya tersebut.
Gajah hanya akan bereaksi seperti ini terhadap Gajah lain yang sudah mati, tidak kepada individu ataupuan spesies hewan lainnya. Bahkan Gajah juga mampu mengingat area jelajahnya meski sudah ditinggalkan lebih dari 5 tahun lamanya dan sudah berubah bentuk ataupun alih fungi areanya.
Di sisi lain, Gajah.indonesia juga menyebutkan, Gajah adalah pembelajar yang smart. Mitigasi konflik Gajah manusia yang sering kali dilakukan dengan cara membuat alat-alat yang otomatis bekerja, bila Gajah dating ke zona manusia, seperti sirine, mercon, parit Gajah, hingga pagar kejut, akan bisa dipelajari oleh Gajah dan dapat ditemukan cara olehnya bagaimana melumpuhkan alat tersebut atau mengatasinya dengan ‘kecerdasannya’.
Hal ini menjadi pengalaman diberbagai wilayah penjuru dunia dimana terdapat habitat Gajah didalamnya. Hingga saat ini, tradisi penghormatan Gajah masih tetap dilakukan dengan berbagai keagamaan, bahkan menjadi lambing universitas maupun beberaa instansi lain hingga taman kota. Hanya saja dalam bberpa wilayah, Gajah masih dimanfaatkan gadingnya sebagai mas kawin di Flores, atau tradisi belis untuk meningkatkan pamor keluarga.
Gading Gajah hingga saat ini juga masih digunakan sebagai cenderamata patung berukir, gelang gading bahkan pipa asap rokok.
Kecerdasan si Datuk Gedang, pasca Operasi Ganesha tahun 1982 dan 1983 di Sugihan, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, justru dikembangkan menjadi struktur domestikasi Gajah dengan ‘tata liman, bina liman, guna liman’ yang akhirnya mengantarkan si Datuk Gedang menjadi lebih jinak dan ditempatkan dalam Kebun Binatang atau Taman Safari di Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya mitigasi konflik antara manusia dengan Gajah hari ini.
Datuk Gedang dan Upaya Konservasi
Bicara soal konservasi tentu tak lepas dari kerentanan dan keterancaman. Situasi global yang memprediksi ledakan polulasi dunia yang menuju 10 miliar hingga 100 tahun ke depan, climate change, konservasi habitat, spesies eksotif dan invasif dalam pertanian, perikanan dan aspek perikanan lain, perburuan & eksploitasi komersial, hingga degradasi hutan diberbagai area mendesak penyelamatan populsai Gajah, termasuk Gajah Sumatra melalui rencana KLHK untuk 2020-2023, dimana terdapat 22 kantong Gajah Sumatra yang tersebar diberbagai area Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, dan Aceh.
Gajah Sumatra yang populasinya terus menurun diangka 61,3% pada 2019 dengan berbagai sebab seperti konflik Gajah-manusia, kematian akibat jerat, racun hingga pagar kejut, tentu saja memiliki dampak jika dilihat dari upaya konservasi, dimana menjaga kelestarian hutan dan keseimbangan ekosistem di dalamnya. Sebagai satwa herbivor, Gajah mampu makan sampai 300-an kg/hari. Gajah menyebarkan biji yang akan tumbuh menjadi pohon-pohon baru melalui kotoran dan sisa makanannya yang disebarkan dalam jumlah besar di jarak yang jauh.
Biji-bijian yang dimakan Gajah terbuang lewat kotoran (18 kali/hari) dan tertanam dalam tanah dan diyakini justru akan tumbuh lebih cepat. Di musim kemarau, Gajah memenuhi kebutuhan air bagi seluruh makhluk hidup di sekitarnya dengan menggali tanah untuk mencari air menggunakan gadingnya. Keberlangsungan hidup Gajah dengan demikian perlu dipertahankan.
Selain membantu dalam pelestarian ekosistem, Gajah juga menjadi penanda dengan masih adanya tutupan hutan dengan intensitas hujan yang cukup dan ketersediaan bahan pangan. Karenanya, Gajah memiliki ruang area dan siklus jelajahnya. Karenanya akan sangat penting model edukasi kesadaran masyarakat yang berada di sekitar area Gajah untuk berbagi ruang & kesimbangan atau disebut dengan ‘Co-existence’, menyeleraskan kehidupan Gajah untuk lebih adaptif terhadap kondisi perubahan kondisi bentang alam, termasuk pola konektifitas dengan manusia, menyelaraskan tujuan dan visi Bersama masyarakat yang berada di dalam maupun di sekitar area jelajah Gajah, memanfaatkan Pusat Informasi Konservasi Gajah (PIKG) yang ada di kabupaten Tebo misalnya sebagai ruang edukasi masyarakat, dalam beradaptasi hidup berdampingan dengan Gajah, agar proses penyadaran dan co-existence dapat dilakukan, dan yang penting adalah memastikan ketersediaan pangan, hingga penyiapan habitat Gajah dimana orientasinya tidak akan mengalami gangguan hingga beberapa tahun ke depan.
Artinya, jika kita mampu hidup berdampingan dengan Datuk Gedang maka itu artinya kita mampu berbagi ruang, menyesuaikan pola penghidupan, dan tidak lagi kita bergantung pada peralatan sebagai upaya mitigasi. Mari berkontribusi dalam konservasi sebagai wujud cinta akan keanekaragaman hayati.
Yogyakarta, 17 Desember 2021
Discussion about this post